KONTRUKSI MAKNA “BELO
HAJAGAI GEHO HAPAKA BELO” SEBAGAI MEDIA RESOLUSI KONFLIK DESA PAKULI
Proposal
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh
Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Pada
Program Studi Ilmu Komunikasi
Konsentrasi
Public Relations
Oleh
:
Ifkan
B 501
08 098
PROGRAM
STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
TADULAKO
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa
Indonesia yang terintegrasi dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda
tapi satu) perlahan terancam integritasnya. Dalam era reformasi supermasi hukum
ditegakkan, keadilan dan hak–hak asasi manusia diperjuangkan, pembangunan fisik
serta segala aspek kehidupan ditegakkan. Akan tetapi ditengah akselerasi
pembangunan tersebut, konflik sosial juga sering terjadi disebagian daerah di Indonesia
seperti Desa Marawola, Bora, dan Pakuli yang merupakan salah satu bentuk
masalah sosial.
Kompleksitas
permasalahan sosial yang melanda bangsa Indonesia merupakan ujian dalam tata
kehidupan berbangsa dan bernegara. Terbukanya kran demokrasi di era reformasi
harus dibayar mahal dengan lahirnya berbagai konflik sosial. Seperti warga satu
dengan warga lain, pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain, yang
semua mengarah pada disintegrasi bangsa.
Konflik
sosial yang terjadi merupakan imbas dari pertentangan kelompok tertentu yang
secara politis menginginkan kelanggengan konflik, agar dapat dijadikan alasan
bahwa elit politik yang berkuasa tidak dapat menyelesaikan masalah. Dalam
kondisi demikian, heterogenitas masyarakat secara sosiokultural sangat
potensial menjadi pemicu terjadinya konflik masalah suku, dan antar golongan
sangat rentan sifatnya dalam masyarakat sehingga kata “perdamaian” sudah tidak
punya arti lagi karena masing–masing pihak mempertahankan diri berdasarkan
subyektif lokal dan semua komponen masyarakat terlibat secara total. Konflik
yang terjadi dalam suatu masyarakat selalu membawa kesengsaraan rakyat,
mengubah secara total perikehidupan masyarakat, warga, meliputi kecemasan anti
pati dan menyebarkan dendam. Dampak lain yang timbul adalah kerusakan fisik
pembangunan dan kerugian material.
Desa
Pakuli sebagai ibukota Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi sering terjadinya
konflik kekerasan sampai akhirnya pada tahap yang memprihatinkan, dan hanya
merupakan persoalan hak wilayah perkebunan obat sampai pada kedua belak pihak
tidak mau mengakui batas yang telah ditentukan, persoalan yang pertama mengenai
batas adalah ada yang mengatakan ini wilayah Pakuli Karawa, begitu juga
sebaliknya kebun obat itu wilayah Pakuli Kinta, dimana kekerasan komunal terus
berkembang sampai sekarang yang berdampak timbulnya bibit persoalan-persoalan
yang baru di desa lainnya yang masih merupakan bagian dari wilayah Kabupaten
Sigi.
Seperti kasus di desa Marawola misalnya, masyarakat
antara kelompok bertikai yang tanpa
adanya kesadaran di hati setiap individunya Sampai-sampai dalam konflik ini
menelan korban. sekalipun masalah ini belum jelas pokok persoalannya,
tetapi kalau melihat adanya korban dalam
kejadian tersebut, ini merupakan bagian dari imbas konflik yang ada di desa
Pakuli.
Selama lima tahun terakhir pergeseran sasaran konflik, dari konflik antara
rakyat dengan Negara dalam pengelolaan sumberdaya alam, misalnya tanah, sumber
air, dan lainnya menjadi konflik horizontal yang berlatar belakang indensitas,
seperti agama, suku, kelompok, dan lainnya.
Konflik kekerasan di
desa Pakuli Karawa dan Pakuli Kinta dapat dipahami sebagai konflik antara
kelompok dengan kelompok, sehingga dari konflik tersebut melahirkan kekerasan berupa korban jiwa, luka–luka,
dan rumah terbakar. Ketakutan masyarakat dikedua kelompok itu, yakni Pakuli
Karawa dan Pakuli Kinta belum ada penelitian yang pasti
menjelaskan duduk masalah konflik dikedua kelompok itu. Namun secara garis
besar jika dilihat dari kebijakan politik saat ini, maka konflik orang Pakuli
Karawa dan Pakuli Kinta dapat dilihat, yaitu kurangnya
pengetahuan pada diri setiap individu dari kedua kelompok tersebut. Sehingga semangat untuk mencapai
perdamaian dan kerukunan
masyarakat Indonesia sudah mulai hilang ditengah masyarakat yang multi etnis
hidup dilembah Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi Tengah pada umumnya.
Kekerasan komunal yang
terjadi dilembah Sigi selama lima tahun terakhir sudah acap kali terjadi dengan
berbagai pola kekerasan. Kekerasan di Pakuli dengan motif modus anak muda yang
mabuk sehingga menimbulkan kerusuhan antara kedua belak pihak diperbatasan
antara dusun I dan dusun II.
Kekerasan
yang terjadi di Pakuli seringkali ditafsirkan oleh masyarakat umum dan
pemerintah lembah Sigi sebagai pertikaian antar kelompok masyarakat yang
sifatnya biasa saja. Ternyata, Persepsi
ini keliru, karena kerusuhan dan perasaan tidak aman juga telah menyebar
kewilayah – wilayah lain diluar lembah Sigi. Bahkan hampir seluruh wilayah
Propinsi Sulawesi Tengah, yang sering kali berwujud konflik antara komunitas.
Misalnya, kasus – kasus peledakan dan teror bom di
kota, penembakan misterius,
kerusuhan Poso, yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit.
Beberapa faktor pemahaman
pemerintah sebagai mengambil kebijakan hanya memahami konflik di Pakuli
terfokus pada konflik biasa, kekerasan antara kelompok masyarakat dalam satu
kampung dengan kampung lainnya, tidak pernah melihat dimensi lain dari penyebab konflik di desa
itu, sehingga konflik di daerah ini masih terus terulang dengan modus yang sama
dan terjadi ditempat yang berbeda.
Maka,
dengan sering terjadinya masalah tersebut, pemerintah dalam hal ini kepala desa
Pakuli berinisiatif membuat satu motto yang dijadikan sebagai pandangan dan
pegangan hidup masyarakat setempat yang berbunyi “Belo Hajagai Geho Hapakabelo” yang mempunyai arti, “baik harus
dijaga dan yang rusak harus diperbaiki” dengan harapan konflik yang terjadi di
desa Pakuli dapat terselesaikan. Sehingga, kalau peneliti mengamati sangatlah tepat dalam permasalahan ini menggunakan
prinsip-prinsip interaksionisme simbolik sebagai media resolusi konflik di desa
ini.
Sebagaimana
yang di utarakan oleh sala satu pakar interaksionisme simbolik Herbert Blumer tentang tiga prinsip utama
dalam mengatasi permasalahan dalam masyarakat dengan cara melakukan interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought).
Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan
sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat
untuk bisa memahami apa yang terjadi dilingkungannya.
Blumer
dari situs (http://yearrypanji.wordpress.com) mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of
the meanings they assign to those people or things.
Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada
dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain
tersebut. Sebagai contoh, dalam film
Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda
berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan
pergi ke kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai
Kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah,
interaksi antara orang kota dengan Kabayan dilandasi pikiran seperti ini.
Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di sana memperlakukan
Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi
ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak.
Premis kedua Blumer adalah meaning arises out
of the social interaction that people have with each other. Pemaknaan
muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan
muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak
bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui
penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme simbolik. Di
sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan.
Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of
symbols is modified by his or her own thought process. Interaksionisme
simbolik- menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri
sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya
menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita
perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya
ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.
Cara
bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa
sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai ‘alat pertukaran pesan’ semata, tapi
interaksionisme simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide
yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik. Komunikasi secara simbolik.
Maka dari permasalahan dan prinsip
diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengkombinasikan
antara makna pesan beserta konflik dengan judul, sebagai berikut : Kontruksi Makna “Belo Hajagai Geho Hapaka Belo” Sebagai Media Resolusi Konflik Desa
Pakuli.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
pemaparan tersebut di atas, peneliti mencoba mengidentifikasi
masalah yang akan di analisis lebih lanjut, sebagai berikut :
1. Bagaimana kontruksi makna “belo hajagai
geho hapaka belo” sebagai media resolusi konflik Desa Pakuli.
2. Bagaimana peran “belo
hajagai geho hapaka belo” sebagai media resolusi konflik Desa Pakuli.
1.3 Tujuan dan kegunaan penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian :
1. Untuk mengetahui Kontruksi
makna “belo hajagai geho hapaka belo”
sebagai media resolusi konflik Desa Pakuli.
2. Untuk mengetahui peran “belo hajagai geho hapaka belo” sebagai
media resolusi konflik Desa Pakuli.
1.3.2 kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi
penelitian komunikasi, khususnya kepada para peneliti yang mengkaji tentang resolusi konflik yang ada di
wilayah Kabupaten Sigi dan yang lebih terpenting pada ruang lingkup penelitian
deskripsi.
b. Kegunaan praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam menyelesaikan konflik dan dapat dijadikan bahan masukan kepada masyarakat desa Pakuli khususnya kepada pemerintah Kabupaten Sigi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Komunikasi dan Tingkat/ Level Komunikasi
Komunikasi adalah prasarat kehidupan manusia.
Kehidupan manusia akan tampak hampa atau tiada kehidupan sama sekali apabila
tidak ada komunikasi. Karena tanpa komunikasi, interaksi antarmanusia, baik
secara perorangan, kelompok ataupun organisasi tidak mungkin dapat terjadi. Dua
orang dikatakan melakukan interaksi apabila masing – masing melakukan aksi dan
reaksi. Aksi dan reaksi yang dilakukan manusia ini (baik secara peroranga,
kelompok ataupun oraganisasi), dalam ilmu komunikasi disebut sebagai tindakan
komunikasi.
Pada dasarnya manusia telah melakukan komunikasi sejak
lahir kedunia. Tindakan komunikasi ini terus-menerus terjadi selama proses
kehidupannya. Dengan demikian, komunikasi dapat diibaratkan sebagai urat nadi
kehidupan manusia. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana bentuk dan corak
kehidupan manusia di dunia ini seandainya saja atau hampir tidak ada tindakan
komunikasi antara satu orang/ sekelompok orang dengan kelompok orang lainnya.
Sesuai definisi komunikasi seperti halnya yang
dikemukakan oleh Hovland, jenis & Kelley: 1953: dalam Sendjaja (2002: 10)
bahwa: komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang (komunikator)
menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah
atau membentuk prilaku orang-orang lainnya (khalayak). Komunikasi juga
merupakan salah satu fungsi dari kehidupan manusia tanpa komunikasi dalam hidup
bagaikan hampa tidak ada kehidupan sama sekali. Untuk memahami lebih jelas
tentang komunikasi ada beberapa definisi operasional di kemukakan oleh para
ahli dapat dijadikan pegangan dalam penulisan ini antara lain sebagai berikut: seperti
dikemukakan Effendy, (1989: 6), dalam buku komunikasi mengatakan bahwa :
“komunikasi
adalah merupakan suatu proses pesan dalam bentuk lambang bermakna sebagai
paduan pikiran dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan,
himbauan, dan sebagainya yang melakukan seseorang kepada orang lain baik
langsung secara tatap muka maupun secara tidak langsung yakni melalui madia
dengan tujuan mengubah sikap, pendangan atau prilaku”.
Menurut definisi di atas
yang dikemukakan Effendy bahwa komunikasi adalah merupakan proses komunikasi
dari komunikator ke komunikan dengan berbagai macam pesan komunikasi artinya
komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal baik komunikasi melalui media maupun
komunikasi langsung (face to face).
Demikian hal tingkat dan level komunikasi dapat berlangsung 6 tahap. Menurut
Denis McQuail (1987) dalam buku pengantar komunikasi oleh Sendjaja (2002: 12)
sebagai berikut:
1. Komunikasi intra-pribadi (intra-personal communication)
Proses
komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang, berupa proses pengelolaan
informasi melalui panca indera dan system syaraf. Misalnya: berpikir, merenung,
mengingat-ingat, menulis sebuah surat, dan menggambar, selama proses
kehidupannya.
2. Komunikasi antarpribadi
Kegiatan
komunikasi yang dilakukan secara langsung antara seseorang dengan orang lain.
Misalnya: percakapan secara tatap muka di antara dua orang, surat menyurat
pribadi, dan percakapan melalui telepon. Corak komunikasinya juga lebih
bersifat pribadi, dalam arti pesan pelaku komunikasi yang terlibat.
3. Komunikasi dalam kelompok
Kegiatan
komunikasi yang berlangsung di antara anggota suatu kelompok. Pada tingkatan
ini, tiap individu yang terlibat masing-masing berkomunikasi sesuai dengan
peran dan kedudukanya dalam kelompok, pesan atau informasi yang dikomunikasikan
juga menyangkut kepentingan seluruh anggota, bukan bersifat pribadi.
4. Komunikasi antar kelompok asosiasi
Kegiatan
komunikasi yang berlangsung antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya, atau
antara suatu asosiasi dengan asosiasi lainnya. Jumlah pelaku yang terlibat
dalam komunikasi jenis ini boleh jadi hanya dua orang atau beberapa orang saja.
Tetapi masing-masing membawakan peran dan kedudukannya sebagai wakil dari
kelompok asosiasinya masing-masing. Dengan demikian pesan yang disampaikan
menyangkut kepentingan kelompok/ asosiasi.
5. Komunikasi organisasi
Komunikasi
organisasi mencangkup kegiatan komunikasi dalam suatu organisasi dan komunikasi
antarorganisasi. Bedanya dengan komunikasi kelompok, bahwa sifat komunikasi
organisasi lebih formal dan lebih mengutamakan prinsip-prinsip efesiensi dalam
melakukan kegiatan komunikasinya.
6. Komunikasi dengan masyarakat secara luas
Pada
tingkatan ini kegiatan komunikasi ditujukan kepada masyarakat secara luas.
Bentuk kegiatan komunikasinya dapat dilakukan melalui dua cara: pertama, komunikasi massa, yakni
komunikasi melalui media massa seperti radio, majalah, surat kabar, dan TV, kedua, langsung tanpa melalui media
massa misalnya ceramah atau pidato dilapangan terbuka. Sifat isi pesan
komunikasi yang disampaikan menyangkut kepentingan orang banyak, tidak bersifat
pribadi.
2.2 Bahasa
Bahasa, menurut Gadamer dalam buku semiotika komunikasi oleh Alex (2003:
272), bukan suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di dunia ini. Di dalam
dan pada bahasa letaknya kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia. Keberadaan
dunia diletakkan secara bahasa. Di dalam bahasa, aspek-aspek dunia terungkap.
Bahkan, kata surianto lagi, dalam tidurpun ada orang yang bicara, kalau bukan
bermimpi berbincang dengan orang lain. Bahasa kemudian benar-benar menjadi alat
penggerak. Memang menakjubkan bagaimana bahasa itu bisa menjadi semacam alat
penggerak dari jauh, dalam suatu mekanisme remote control, bagi individu
yang ratusan ribu jumlahnya.
Menurut Ensiklopedia indonesia
bandung dalam buku yang sama (2003: 274), kata ‘bahasa’ berarti “alat untuk
melukiskan sesuatu pikiran, perasaan atau pengalaman, alat ini terdiri dari
kata-kata. Dalam perhubungan antara manusia dan manusia dipakai orang bahasa
(kata-kata) itu sebagai simbol (lambang) yang objektif untuk memaparkan sesuatu
pikiran atau perasaan yang subjektif”.
Dilihat dari sudut ilmu-ilmu sosial,
bahasa adalah dasar komunikasi antarmanusia. Tanpa bahasa, perhubungan
antarmanusia seperti ini tidaklah mungkin. Dalam pandangan teori lingustik yang
dipengaruhi Chomski, bahasa adalah sejumlah kalimat yang tak terbatas dan
setiap kalimat bersifat tunggal ialah setiap kalimat hanya satu kali terbentuk
dalam suatu bentuk yang tertentu. Kalimat itu terdiri atas sejumlah tanda
bahasa (kata-kata) yang terbatas dan yang disebut kode.
Hanya dengan penyusunan menurut aturan tertentu, tanda-tanda bahasa ini
menjadi ungkapan. Penyusunan ini tidak terjadi menurut sebuah pola yang
tunggal, tetapi dipengaruhi juga oleh hal-hal lain. Pengaruh lain misalnya
keadaan diri sendiri si pembicara dan keadaan di mana kalimat-kalimat tertentu
itu di ungkapkan.
Secara
objektif dalam (http://cencen.guru-indonesia.net), hakikat
keberadaan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hakikat
makna bahasa dan keberadaan bahasa senantiasa memproyeksikan kehidupan manusia
yang sifatnya tidak terbatas dan kompleks.
Dalam
konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan secara khas dan
memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Untuk itu, terdapat banyak
permainan bahasa dalam kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan tidak
terbatas, dan antara tata permainan satu dengan lainnya tidak dapat ditentukan
dengan suatu aturan yang bersifat umum. Namun demikian, walaupun terdapat
perbedaan adakalanya terdapat sutau kemiripan, dan hal ini sulit ditentukan
secara definitif dan pasti. Meskipun orang tidak mengetahui secara persis
sebuah permainan bahasa tertentu, namun ia mengetahui apa yang harus diperbuat
dalam suatu permainan. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hakikat bahasa
dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu deskripsi
serta memberikan contoh-contoh dalam kehidupan manusia yang digunakan secera
berbeda.
Sebagian orang berpendapat bahwa bahasa
sebagai sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain; sebuah permainan dari
simbol verbal yang didasarkan dengan rasa indera kita (pencitraan). Sebagai
sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang
dunia dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi tentang realitas.
Pandangan
di atas, merajut pada pemikiran bahwa dengan melukiskan bahasa sebagai
penjelmaan pikiran dan perasaan, yaitu budi manusia, maka bahasa itu mendapat
arti jauh lebih tinggi daripada sistem bunyi atau fonem. Oleh karena itu
budilah yang melahirkan kebudayaan, maka bahasa sebagai penjelmaan daripada
budi itu adalah cerminan selengkap-lengkapnya dan sesempurna dari kebudayaan.
Perhatian
terhadap kelompok-kelompok minoritas ini sekarang telah menjadi betapa penting
dengan adanya kontak antarbudaya, namun diasumsikan bahwa komunikasi antabudaya
itu sangat sulit. Hal ini disebabkan karena jika bahasa sebagai sistem bunyi
gagal mengendap dalam kantong-kantong budaya, maka masyarakat pun gagal untuk
memahami dan dipahami dalam konteks komunikasi antarbudaya. Dari pernyataan
diatas dapat dirtarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan salah satu alat untuk
mengadakan interaksi terhadap manusia yang lain. Jadi bahasa tersebut tidak
dapat dipisahkan dengan manusia.
Dengan
adanya bahasa kita dapat berhubungan dengan masyarakat lain yang akhirnya
melahirkan komunikasi dalam masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat fungsi
bahasa secara tradisional dapat dikatakan sebagai alat komunikasi verbal yang
digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi. Akan tetapi, fungsi bahasa tidak
hanya semata-mata sebagai alat komunikasi. Bagi Sosiolinguistik konsep bahasa
adalah alat yang fungsinya menyampaikan pikiran saja dianggap terlalu sempit. Cangara
(2004:15) berpendapat bahwa fungsi yang menjadi persoalan Sosiolingustik adalah
dari segi penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.
Maksud
dari pernyataan tersebut pada intinya bahwa fungsi bahasa akan berbeda apabila
ditinjau dari sudut pandang yang berbeda sebagaimana yang telah disebutkan
diatas. Adapun penjelasan tentang fungsi-fungsi bahasa tersebut adalah
sebagaiberikut:
1.
Segi penutur
Dilihat dari segi penutur maka
bahasa itu berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya, si penutur menyatakan
sikap terhadap apa yang dituturkannya, bukan hanya menyatakan sikap lewat bahasa
tetapi juga memperlihatkan sikap itu sewaktu menyampaikan tuturannya, baik
sedang marah, sedih, ataupun gembira.
2.
Segi pendengar
Dilihat dari segi pendengar maka
bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Dalam hal
ini, bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi
melakukan hal sesuai dengan keinginan sipembicara.
3.
Segi topik
Dilihat dari segi topik maka
bahasa itu berfungsi referensial. Dalam hal ini bahasa itu berfungsi sebagai
alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau
yang ada dalam budaya pada umumnya.
4.
Segi kode
Dilihat dari segi kode maka
bahasa itu berfungsi metalingual atau metalinguistik, yaitu bahasa digunakan
untuk membicarakan bahasa itu sendiri, seperti pada saat mengajarkan tentang
kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa yang dijelaskan dengan menggunakan
bahasa.
5.
Segi amanat
Dilihat dari segi amanat yang
disampaikan maka bahasa itu berfungsi imaginatif, yakni bahasa itu dapat
digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan (baik sebenarnya
maupun khayalan/rekaan). Masyarakat Bahasa dalam sosiolinguistik oleh Dell
Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan tutur
sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative
competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki
oleh penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan
fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya.
2.3
Interaksionisme
Simbolik
Istilah interaksionisme menjadi sebuah label untuk
pendekatan yang relative khusus pada ilmu yang membahas tingkah laku manusia.
Interaksionisme simbolis merujuk pada karakter interaksi khusus yang
berlangsung antarmanusia. Aktor tidak semata-mata beraksi terhadap tindakan
yang lain, tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang
lain. Respon aktor secara langsung maupun tidak, selalu didasarkan atas
penilaian makna tersebut. Oleh karena itu, interaksi manusia dijembatani oleh
penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang
lain. Menurut Herbert Blumer dalam buku interaksionisme simbolik oleh Riyadi (2002: 120) bahwa interaksionisme simbolis bertumpu
pada tiga premis utama:
1. Manusia
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu
bagi mereka.
2. Makna itu
diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
3. Makna-makna
tersebut disempurnakan di saat proses interaksi social sedang berlangsung.
Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan
dan mentransformasikan makna dalam kaitanya dengan situasi di mana dan ke mana
arah tindakannya. Sebagai penerapan makna-makna yang dipakai dan disempurnakan
sebagai instrument bagi pengarahan dan pembentukan tindakan. Blumer (1986)
dalam buku Riyadi soeprapto (2002: 122) mengatakan bahwa individu bukan
dikelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan
membentuk perilakunya. Gambaran yang benar ialah dia membentuk obyek-obyek itu.
Dalam pada itu, maka
individu sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda, mamberinya arti,
menilai kesesuaiannya dengan tindakan dan mengambil keputusan berdasarkan
penilaian tersebut. Inilah yang dimaksud dengan penafsiran atau bertindak
berdasarkan simbol-simbol.
Dengan begitu, manusia
merupakan aktor yang sadar dan reflektif, yang menyatukan obyek-obstek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blumer
sebagai self-indication. Self indication adalah proses komunikasi
yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya,
memberikan makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makana itu. Proses self-indication ini terjadi dalam
konteks social di mana individu mencoba “mengantisipasi” tindakan-tindakan
orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan
itu.
Bagi Blumer (1986) dalam
buku interaksionisme simbolik oleh Soeprapto (2002: 122-123) yang terjadi pada suatu interaksi dalam masyarakat
adalah bahwa proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan
bahkan menghancurkan aturan-aturan, dan bukan sebaliknya bahwa aturan-aturanlah
yang menciptakan dan menghancurkan kehidupan kelompok. Apa yang disebut sebagai
struktur sosial
oleh kaum struktural
fungsional sesungguhnya adalah hasil interaksi masyarakat. Sedangkan dalam
teori interaksionisme simbolis, kata Blumer, mempelajari suatu masyarakat tak
lain adalah mempelajari apa yang disebut sebagai “tindakan bersama” sementara,
masyarakat itu sendiri merupakan produk dari interaksi simbolis. Dalam kontek
ini, interaksi manusia dalam masyarakat ditandai oleh penggunaan simbol-simbol,
penafsiran dan kepastian makna dari tindakan orang lain.
Interaksionisme
simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan
masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer dalam buku semiotika komunikasi
oleh Sobur (2003: 196) memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan
metodologis dari interaksionisme simbolik. Masing-masing hal tersebut mengidentifikasikan
sebuah konsep sentral mengenai tradisi yang dimasud :
1.
Orang-orang
dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman.Persepsi seseorang
selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.
2.
Berbagai makna
dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Makna muncul dari adanya
pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.
3.
Seluruh struktur
dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.
4.
Tingkah laku
seseorang tidak mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja,
namun juga dilakukan secara sengaja.
5.
Pikiran terdiri
atas sebuah percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah
terjadi antara seseorang dengan orang lain.
6.
Tingkah laku
terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.
7.
Kita tidak bisa
memahami pengalaman seseorang individu dengan mengamati tingkah lakunya saja.
Esensi
interaksi simbolik adalah suatu aktifitas yang merupakan ciri khas manusia,
yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (mulyana, 2001:
68). Menurut blumer dalam buku
komunikasi semiotika oleh Sobur (2003: 197), manusia bukan semata-mata
organisme saja yang bergerak di bawah pengaruh perangsang-perangsang entah dari
luar, entah dari dalam, melainkan “organisme yang sadar akan dirinya” (an
organism having a self). dikarenakan ia seorang diri, ia mampu memandang
diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan diri
sendiri.
2.3.1 Sifat – sifat
Interaksionisme simbolik berada pada analisis paling akhir
dari tiga dasar pemikiran yang menyertainya.
1. Manusia
bertindak terhadap benda berdasarkan “arti” yang dimilikinya.
2. Asal muasal arti
atas benda-benda tersebut yang muncul dari interaksi social yang memiliki
seseorang.
3. Makna yang
demikian ini diperlukan dan dimodifikasikan melalui proses interpretasi yang
digunakan oleh manusia dalam berurusan dengan benda-benda lain yang ditemuinya.
Teori interaksionisme
simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah
dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana
orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis
memandang “arti” sebagai produk social, sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk
melalui aktifitas yang terdefinisi dari indifidu saat mereka berinteraksi.
Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi yang sangat
jelas, dengan implikasi-implikasi yang cukup dalam.
Sedangkan pada tahapan
pemikiran yang ketiga, teori interaksionisme simbolis memberikan pemahaman akan
“arti” tersebut lebih jauh lagi. Penggunaan “arti” oleh pelaku terjadi melalui
sebuah proses interpretasi. Proses ini sendiri terbentuk melalui dua tahapan
utama.
1. Pelaku
mengindikasikan dirinya sendiri akan benda-benda terhadap mana dia beraksi. Dia
harus menunjukan sendiri benda-benda yang memiliki makna itu.
2. Melalui
perbaikan proses komunikasi dengan diri sendiri ini, maka interpretasi akan
menjadi sebuah masalah, yakni bagaimana kita memperlakukan “arti” itu sendiri.
Maka dengan demikian bias disaksikan dengan jelas bahwa “arti” memainkan peran
penting dalam aksi, melalui sebuah proses interaksi dengan diri sendiri.
Teori interaksionisme
simbolis dikonstruksikan atas sejumlah ide-ide dasar. Ide dasar ini mengacu
pada masalah-masalah kelompok manusia atau masyarakat, interaksi social, obyak,
manusia sebagai pelaku, tindakan manusia dan interkoneksi dari saluran-saluran
tindakan. Secara bersama-sama, ide-ide mendasar ini merepresentasikan cara di
mana teori interaksionisme simbolis ini memandang masyarakat. Mereka memberikan
kerangaka kerja pada ilmu sekaligus menganalisisnya. Secara singkat kita akan
mempelajari kerangka-kerangka itu:
1. Sifat masyarakat.
Secara
mendasar, masyarakat atau kelompok-kelompok manusia berada dalam tindakan dan
harus dilihat dari segi tindakan pula. Prinsip utama dari teori interaksionisme
simbolis adalah apapun yang berorientasi secara empiris atas masyarakat
manusia, dan dari manapun asalnya, haruslah memperhatikan kenyataan bahwa
masyarakat manusia tersebut terdiri dari orang-orang yang sedang bersama-sama
dalam sebuah aksi sosial manusia.
2. Sifat interaksi sosial.
Masyarakat merupakan bentukan dari
interaksi antarindividu. Interaksi sosial dalam pengertian berikut ini biasanya
diabaikan, baik secara sosiologis maupun psokologis. Interaksi sosial adalah
sebuah interaksi antarpelaku, dan bukan antar faktor-faktor yang menghubungkan
mereka, atau yang membuat mereka berinteraksi. Mead berpendapat dalam buku
interaksionisme simbolik oleh Riyadi (2002: 143), memandang interaksi sosial
dalam masyarakat terjadi dalam dua bentuk utama, yakni “percakapan isyarat”
(interaksi non-simbolis) dan “penggunaan simbol-simbol penting” (interaksi
simbolis).
3. Ciri-ciri
obyek.
Posisi teori interaksionisme simbolis
adalah bahwa dunia-dunia yang ada untuk manusia dan kelompok-kelompok mereka
adalah terdiri dari obyek-obyek sebagai hasil dari interaksi simbolis. Sebuah
obyek adalah segala sesuatu yang dapat diindikasikan atau ditunjukkan. Obyek
yang sama mempunyai arti yang berbeda-beda untuk individu yang berbeda pula.
Dari proses indikasi tibal balik, obyek-obyek umum bermunculan. Obyek-obyek
yang memiliki arti yang sama bagi kelompok manusia, akan dipandang dengan cara
yang sama pula oleh mereka.
4. Manusia
sebagai makhluk bertindak.
Teori interaksionisme simbolis memandang
manusia sebagai makhluk sosial dalam suatu pengertian yang ikut serta dalam
berinteraksi sosial dengann dirinya sendiri, dengan membuat indikasinya
sendiri, dan memberikan respon pada sejumlah indikasi. Dalam pengertian ini,
manusia sebagai suatu makhluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan
dirinya sendiri, bukanlah makhluk yang hanya merespon saja, akan tetapi makhluk
yang bertindak atau beraksi. Sebuah makhluk yang harus mencetak sederetan aksi
berdasarkan pada perhitungan, tidak hanya berfungsi melepaskan respon pada
interaksi sosial yang ada.
5. Sifat
aksi manusia.
Manusia individual adalah manusia yang
mengartikan dirinya dalam dunia ini agar bertindak. Tindakan atau aksi bagi
manusia terdiri dari perhitungan berdasarkan berbagai hal yang ia perhatikan
dan penampakan sejumlah tindakan berdasarkan pada bagaimana dia
menginterpretasikannya. Dalam berbagai hal tersebut, seseorang harus masuk
kedalam proses pengenalan diri pelakunya agar mengerti tindakan atau aksinya.
Pandangan ini berlaku juga untuk aksi bersama atau kolektif di mana sejulah
individu ikut diperhitungkan. Aksi bersama adalah hasil dari sebuah proses
interaksi yang interpretatif.
2.3.2 Makna
Ada
beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep makna. Model proses
makna Wendell Johnsosn (1951, dalam Semiotika Komunikasi oleh Sobur: 258)
menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia:
1)
Makna
ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada
kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati
makna yang ingin kita komunikasikan tetapi kata-kata ini tidak secara sempurna
dan lengkap menggambarkan makna yang dimaksudkan. Demikian pula, makna yang
didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna yang
ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk
mereproduksi, dibenak pendengar, apa yang ada didalam benak kita.reproduksi ini
hanyalah seuah proses parsial dan selalu bisa salah.
2)
Makna
berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata
yang kita gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata-kata ini
terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna.
Bandingkanlah misalnya makna kata-kata berikut bertahun-tahun yang lalu dan
sekarang, hubungan diluar nikah, obat, agama, hiburan dan perkawinan (Di
Amerika Serikat kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan dimasa
yang lalu).
3)
Makna
membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi
mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai
kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang
selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai
acuan yang memadai.
4)
Penyingkatan
yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah
masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa
mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara
tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan
konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang
spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan
kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan
perlu dikaitkan dengan banyak objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata:
“berlaku manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak”. Bila anda
membuat hubungan seperti ini, anda akan bisa membagi apa yang anda maksudkan
dan tidak membiarkan keseluruhan tindak komunikasi berubah.
5)
Makna
tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah
kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu,
kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan sebuah masalah
bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang
berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya anda bertanya bukanya membuat
asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing
pihak diketahui.
6)
Makna
dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita
peroleh dari suatu kejadian (event)
bersifat multi aspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari
makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut
tetap tingggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya
pertukaran makna yang sempurna barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin
kita capai tetapi tidak pernah tercapai.
2.3.3
Proses Pertukaran Makna
Dalam studi
komunikasi terdapat dua mazhab utama yang sering dijadikan landasan berpikir
para ilmuwan komunikasi dalam meneliti berbagai fenomena komunikasi. John Fiske
oleh Mulyana (1999, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar: 69-71), membagi studi
Komunikasi dalam dua Mahzab Utama. Mahzab pertama melihat komunikasi sebagai
suatu transmisi pesan. Fiske tertarik dengan bagaimana pengirim dan
penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode),
dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi.
Fiske melihat
komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi
perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek tersebut
berbeda dari atau lebih kecil daripada yang diharapkan, mahzab ini cenderung
berbicara tentang kegagalan komunikasi, dengan melihat tahap-tahap dalam proses
tersebut guna mengetahui dimana kegagalan tersebut terjadi. Selanjutnya kita
akan menyebut mahzab ini sebagai “Mahzab Proses”.
Sedangkan mahzab kedua
melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, berkenaan
dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam
kebudayaan kita. Fiske menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification),
dan tidak memandang kesalah pahaman sebagai bukti yang penting dari
kegagalan komunikasi––hal itu mungkin akibat dari perbedaan budaya antara
pengirim dan penerima. Bagi mahzab ini, studi komunikasi adalah studi tentang
teks dan kebudayaan. Mahzab ini mendefinisikan interaksi sosial sebagai yang
membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.
Bagi mahzab yang
melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, pesan merupakan suatu
konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, kemudian menghasilkan
makna. Pengirim, yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurun arti
pentingnya. Penekanan begeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”.
Membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi
atau bernegoisasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa
aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang
menyusun teks. Ia juga melibatkan pemahaman yang agak sama tentang apa
sebenarnya teks tersebut. Maka pembaca dengan pengalaman sosial yang berbeda
atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks
yang sama. Ini bukanlah, seperti yang telah kami katakan, bukti yang penting
dari kegagalan komunikasi.
Lantas, pesan bukanlah
sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan
terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan
produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks dipandang sebagai proses yang
peralel, jika tidak identik, karena mereka menduduki tempat yang sama dalam
hubungan tersetruktur ini. Kita bisa menggambarkan model struktur ini sebagai
sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukan interaksi yang konstan;
struktur tersebut tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis.
Menurut mazhab
komunikasi produksi dan pertukaran makna di atas, penerima atau pembaca teks
dipandang memainkan peran yang lebih aktif dibandingkan dalam kebanyakan model
mazhab komunikasi proses yang lebih menonjolkan pada pihak pengirim pesan teks.
2.4 Konflik
dan Jenis Konflik
Secara etimologis, konflik dari asal kata “confligere, conflictum” artinya : pertentangan, pertikaian,
bertolak belakang, dan benturan. Jadi konflik dapat diartikan sebagai suatu
perselisihan atau perbedaan paham antara seseorang pada orang lain atau seorang
pada kelompok. Dalam pengertian yang sangat luas, konflik dapat juga dikatakan
sebagai segala macam bentuk hubungan antara manusia yang bersifat berlawanan
(antagonistik), (Masmuh, 2010:293).
Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia, sepanjang seseorang
masih hidup hampir mustahil untuk menghilangkan konflik di muka bumi. Berbagai
macam keinginan seseorang dan tidak terpenuhi keinginan tersebut juga berakhir
dengan konflik. Perbedaan antar perorangan juga dapat mengakibatkan konflik.
Selanjutnya jika konflik antar perorangan tidak dapat diadili secara adil dan
proporsional maka hal itu dapat barakhir dengan konflik antar kelompok dalam
masyarakat. Sebuah konflik berawal dari persoalan kecil dan sederhana perbedaan
pendapat dan sikap termaksud ketidak inginan untuk menerima orang lain dapat
menyebabkan konflik antara seseorang dengan yang lainnya.
Konflik merupakan sesuatau yang esensial dari kehidupan sebagai sesuatu
yang tidak dapat dihilangkan di dalam komponan kehidupan sosial. Kompleksnya
berbagai permasalahan yang terjadi pada masyarakat seperti kecemburuan sosial,
kecemburuan ekonomi, tingginya suhu politik yang mengakibatkan banyaknya
kepentingan yang tidak terakomodir, dimana kepentingan itu bertujuan lebih hanya
mencari dominasi sebuah kekuasaan. Wahyudi Kusnadi (2001: 11)
Robbin menyatakan bahwa konflik adalah suatu proses
dimana usaha yang dilakukan oleh A untuk mengimbangi usah-usah B dengan cara
merintangi yang menyebabkan B frustasi dalam mencapai tujuan atau meningkatkan
keinginannya. Sedangkan menurut Miftah Thoha, konflik adalah sebagai suatu
pertikaian, pertentangan antara beberapa orang atau kelompok orang-orang, tidak
adanya kerja sama, peerjuangan satu pihak untuk melawan pihak lainnya, atau
suatu proses yang berlawanan (opposition
process), (Masmuh, 2010:294).
Dari definisi di atas, kita dapat melihat bahwa dalam suatu konflik
terdapat beberapa unsur, yaitu :
1. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat. Jadi, ada
interaksi antara mereka yang terlibat.
2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik. Tujuan
itulah yang menjadi sumber konflik.
3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan diantara
pihak yang terlibat untuk mendapatkan atau mencapai tujuan atau sasaran.
4. Ada situasi konflik antara dua pihak yang bertentanga. Ini meliputi situasi anatar pribadi, antar
kelompok dan bahkan antar organisasi. (Alo Liliweri, 2005) dalam (Masmuh,
2010:294).
Konflik memiliki jenis, Jenis konflik ada dua yaitu :
1. Konflik vertikal adalah konflik antar elite dan massa (rakyat). Elite
disini bisa para pengambil kebijakan di tingkat pusat. Hal yang menonjol dalam konflik ini ialah digunakannya instrumen kekerasan Negara, sehingga timbul korban
dikalangan massa(rakyat).
2. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi dikalangan massa (rakyat)
sendiri. Dalam kurun lima tahun terakhir. (Susan,2009:99)
2.4.1 Bentuk Akomodasi Konflik
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam
mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian
saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama.
Bentuk-bentuk akomodasi :
1.
Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna
melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya :
untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau
mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan
lain-lain.
2.
Abitrasi, yaitu suatu
perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan
keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti
ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat,
bersifat spontan dan informal.Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka
pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3.
Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak
diberikan Keputusan Yang mengikat. Contoh : PBB membantu
menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
4.
Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan
memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling
menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi
untuk maju atau mundur.
5.
Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian
perkara atau sengketa di pengadilan.(Andreas,
2008 : 53).
2.5 Kerangka Pikir
Konflik
Desa Pakuli
|
Makna
“Belo Hajagai Geho Hapakabelo”
|
Interaksionisme
Simbolik
1.
Sifat
Masyarakat
2.
Sifat
Interaksi Sosial
3.
Manusia
Sebagai Makhluk Bertindak
4.
Sifat
Aksi Manusia
|
Proses Pertukaran Makna
|
Penyelesaian
Konflik
|
(Gambar
2.1)
Bagan
Kerangka Pikir
Keterangan Kerangka Pikir :
Konflik merupakan sikap saling
mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki
tujuan dan pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka
berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama. Konflik dapat berupa perselisihan
(disagreement), adanya ketegangan (the presence of tension), atau munculnya
kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering
menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak, sampai kepada tahap di mana
pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan
pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing masing.
Maka dari itu, “Belo Hajagai Geho Hapakabelo” sebagai
media interaksi simbolik dalam masyarakat, sangatlah berperan penting didalam
proses pertukaran makna tersebut. Sehingga dari proses pertukaran makna ini, Respon aktor secara langsung maupun tidak, selalu
didasarkan atas penilaian makna tersebut. Oleh karena itu,
respon terhadap penilaian makna, “Belo
Hajagai Geho Hapakabelo”. sangatlah
membantu untuk penyelesaian konflik di desa Pakuli.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1
Tipe dan Dasar Penelitian
3.1.1 Tipe Penelitian
Tipe dalam penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif. Hal ini bertujuan untuk agar
peneliti dapat memberikan gambaran secara sistematis, aktual dan akurat serta mendapatkan
data yang mendalam tentang Penyelesaian Konflik di Desa pakuli.
3.1.2
Dasar Penelitian
Dasar penelitian ini menggunakan analisis induktif.
Analitis Induktif adalah satu dasar pengolahan
data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori (bukan frekuensi).
Simbol-simbol yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk
deskripsi dalam suatu hasil wawancara dan atau observasi .
32.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini
dilakukan di Desa Pakuli Dusun I Kec. Gumbasa, dipilihnya atas dasar
pertimbangan : intensitas konflik yang sangat tinggi dan minimnya kesadaran
masyarakat terhadap motto “Belo Hajagai
Geho Hapakabelo” yang telah menjadi pandangan dan pegangan hidup di desa
ini.
3.3.
Informan Penelitian
Peneliti menyebut
informan penelitian untuk menggantikan istilah subjek penelitian yaitu para
anggota kelompok yang melakukan pertemuan kelompok dalam upaya penyelesaian
konflik. Cara menentukan informan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
teknik purposive sampling.
Purposive sampling berfokus
pada pemilihan individu yang memiliki informasi tertentu yang dapat menjawab
fokus penelitian. Oleh karena itu, dalam purposive sampling, peneliti
telah menentukan terlebih dahulu karakteristik informan yang terlibat langsung
dalam pertemuan kelompok, yaitu meliputi para tokoh masyarakat terdiri dari :
1.
Ketua Adat desa
Pakuli
2.
Kepala Desa
Pakuli
3.
Ketua Pemuda
Ketua
adat disini berperan sebagai orang tua kampung yang memberikan nasehat kepada
pemuda yang terlibat bertikai. Selanjutnya Kepala desa yang mendamaikan kedua
kelompok tersebut, lalu pemuda yang terlibat dalam pertikaian ini diberikan
perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Kemudian, untuk jumlah
informan penelitian bergantung pada apa yang ingin diketahui nantinya. Seperti,
tujuan dari pengambilan data, hal-hal apa saja yang dapat bermanfaat untuk
tujuan penelitian, serta apa yang memungkinkan dilakukan dengan sumber daya
waktu dan sumber daya lain yang ada. Hal ini bisa diperoleh setelah penelitian
ini dianggap cukup untuk memenuhi tujuan penelitian ini.
3.4
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Jenis Data
Jenis
data yang dikumpulkan dalam penelitian dalah :
1.
Data primer
merupakan data yang diperoleh dari sumber data pertama atau tangan pertama
dilapangan (Kriyantono, 2006:43). Dalam penelitian ini, data primer diperoleh
secara langsung dari hasil wawancara mendalam dengan para informan.
2.
Data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder
(Kriyantono, 2006:44). dalam hal ini, data yang diperoleh yaitu dari buku-buku,
makalah, internet dan dokumen-dokumen yang sudah ada yang berhubungan dengan
permasalahan dalam penelitian.
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data, baik yang bersifat primer
maupun sekunder maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1.
Observasi
Observasi adalah suatu proses yang
kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan
psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan
ingatan (Sutrisno Hadi,1986) dalam (Sugiyono,2009:145). Dalam hal ini peneliti
akan mengamati bagaimana penyelesaian konflik dengan menggunakan konteks pesan.
2.
Wawancara
Mendalam
Wawancara mendalam (in-depth interview) dengan para
informan kunci menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang berkaitan dengan penyelesaian konflik.
Pedoman wawancara
disusun berdasarkan variabel yang diteliti dan disesuaikan dengan tujuan
penelitian berupa poin-poin pertanyaan yang dikembangkan dalam proses wawancara
dilapangan.
3.5
Teknik Analisis Data
Analisis
data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Dalam pengertian bahwa
upaya analisis berdasarkan kata-kata yang disusun dalam bentuk teks yang diperluas, (Miles & Huberman 1992 dalam
Nurhaidar 2009:59).
Data
yang terkumpul dari hasil pengamatan dan wawancara lapangan selanjutnya
dianalisis dan disajikan bukan dalam bentuk angka-angka tapi berupa kata-kata
atau narasi. Data yang telah dikumpulkan kemudian direduksi (data reductian). Menurut Bungin
(2004:25) reduksi dalam penelitian kualitatif dapat disejajarkan maknanya
dengan istilah pengolahan data, mencakup kegiatan mengupayakan pengumpulan data
selengkap mungkin, dan memilah-milah ke dalam suatu konsep, kategori atau tema
tertentu. Tahap selanjutnya melakukan interpretasi data sesuai kondisi atau
hubungan yang ada atau kecenderungan yang sedang berkembang, sehingga dapat
memaparkan untuk selanjutnya diorganisasikan kedalam kesimpulan hasil temuan di
lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU
TEKS
Cangara,
Hafied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Kusnadi,
Bambang Wahyudi. 2001. Teori dan
Manajemen Konflik. Malang: Caroda.
Masmuh,
Abdullah. 2010. Resolusi Damai Konflik
Kontemporer, Malang: UMM Press.
Mulyana,
Deddy. 1999. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Rakhmat,
Jalaludin. 2007. Psikologi Komunikasi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sasa,
Djuarsa. 2002. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka
Setiadi,
Elly M. 2006. Ilmu sosial dan Budaya
Dasar. Jakarta: Prenada Media Group.
Sobur,
Alex. 2003. Semiotika Komunikasi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Soeprapto,
Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik.
Malang: Averroes Press.
Susan, Novri. 2009. Pengantar Sosiologi Konflik. Jakarta: Prenada Media Group.
Wijoyo, Sutarto. 1993. Konflik Dalam Organisasi Dengan Pendekatan Psikologi. Semarang:
Satya Wacana.
B.
BUKU
METODOLOGI
Bungin, Burhan.
2004. Metode Penelitian Kualitatif.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Furchan,
Arief. 1992. Pengantar Metode penelitian
Kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-ilmu Sosial.
Surabaya: Usaha Nasional.
Kriyantono,
Rachmat. 2006. Teknik Praktek Riset
Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Sugiyono, 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
C.
WEBSITE
(http://yearrypanji.wordpress.com/2008/03/17/teori-interaksionisme-simbolik/).
Selasa 25-09-12 (10:03)
0 komentar:
Posting Komentar