Minggu, 12 Mei 2013

SKRIPSIKU



KONTRUKSI MAKNA “BELO HAJAGAI GEHO HAPAKA BELO” SEBAGAI MEDIA RESOLUSI KONFLIK DESA PAKULI











Proposal

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Pada Program Studi Ilmu Komunikasi
Konsentrasi Public Relations


Oleh :

Ifkan
B 501 08 098


PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2013




 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Bangsa Indonesia yang terintegrasi dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tapi satu) perlahan terancam integritasnya. Dalam era reformasi supermasi hukum ditegakkan, keadilan dan hak–hak asasi manusia diperjuangkan, pembangunan fisik serta segala aspek kehidupan ditegakkan. Akan tetapi ditengah akselerasi pembangunan tersebut, konflik sosial juga sering terjadi disebagian daerah di Indonesia seperti Desa Marawola, Bora, dan Pakuli yang merupakan salah satu bentuk masalah sosial.
Kompleksitas permasalahan sosial yang melanda bangsa Indonesia merupakan ujian dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Terbukanya kran demokrasi di era reformasi harus dibayar mahal dengan lahirnya berbagai konflik sosial. Seperti warga satu dengan warga lain, pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain, yang semua mengarah pada disintegrasi bangsa.
Konflik sosial yang terjadi merupakan imbas dari pertentangan kelompok tertentu yang secara politis menginginkan kelanggengan konflik, agar dapat dijadikan alasan bahwa elit politik yang berkuasa tidak dapat menyelesaikan masalah. Dalam kondisi demikian, heterogenitas masyarakat secara sosiokultural sangat potensial menjadi pemicu terjadinya konflik masalah suku, dan antar golongan sangat rentan sifatnya dalam masyarakat sehingga kata “perdamaian” sudah tidak punya arti lagi karena masing–masing pihak mempertahankan diri berdasarkan subyektif lokal dan semua komponen masyarakat terlibat secara total. Konflik yang terjadi dalam suatu masyarakat selalu membawa kesengsaraan rakyat, mengubah secara total perikehidupan masyarakat, warga, meliputi kecemasan anti pati dan menyebarkan dendam. Dampak lain yang timbul adalah kerusakan fisik pembangunan dan kerugian material.
Desa Pakuli sebagai ibukota Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi sering terjadinya konflik kekerasan sampai akhirnya pada tahap yang memprihatinkan, dan hanya merupakan persoalan hak wilayah perkebunan obat sampai pada kedua belak pihak tidak mau mengakui batas yang telah ditentukan, persoalan yang pertama mengenai batas adalah ada yang mengatakan ini wilayah Pakuli Karawa, begitu juga sebaliknya kebun obat itu wilayah Pakuli Kinta, dimana kekerasan komunal terus berkembang sampai sekarang yang berdampak timbulnya bibit persoalan-persoalan yang baru di desa lainnya yang masih merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Sigi.
Seperti  kasus di desa Marawola misalnya, masyarakat antara kelompok  bertikai yang tanpa adanya kesadaran di hati setiap individunya Sampai-sampai dalam konflik ini menelan korban. sekalipun masalah ini belum jelas pokok persoalannya, tetapi  kalau melihat adanya korban dalam kejadian tersebut, ini merupakan bagian dari imbas konflik yang ada di desa Pakuli.
 Selama lima tahun terakhir pergeseran sasaran konflik, dari konflik antara rakyat dengan Negara dalam pengelolaan sumberdaya alam, misalnya tanah, sumber air, dan lainnya menjadi konflik horizontal yang berlatar belakang indensitas, seperti agama, suku, kelompok, dan lainnya.
Konflik kekerasan di desa Pakuli Karawa dan Pakuli Kinta dapat dipahami sebagai konflik antara kelompok dengan kelompok, sehingga dari konflik tersebut melahirkan kekerasan berupa korban jiwa, luka–luka, dan rumah terbakar. Ketakutan masyarakat dikedua kelompok itu, yakni Pakuli Karawa dan Pakuli Kinta belum ada penelitian yang pasti menjelaskan duduk masalah konflik dikedua kelompok itu. Namun secara garis besar jika dilihat dari kebijakan politik saat ini, maka konflik orang Pakuli Karawa dan Pakuli Kinta dapat dilihat, yaitu kurangnya pengetahuan pada diri setiap individu dari kedua kelompok tersebut. Sehingga semangat untuk mencapai perdamaian dan kerukunan masyarakat Indonesia sudah mulai hilang ditengah masyarakat yang multi etnis hidup dilembah Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi Tengah pada umumnya.
Kekerasan komunal yang terjadi dilembah Sigi selama lima tahun terakhir sudah acap kali terjadi dengan berbagai pola kekerasan. Kekerasan di Pakuli dengan motif modus anak muda yang mabuk sehingga menimbulkan kerusuhan antara kedua belak pihak diperbatasan antara dusun I dan dusun II.
Kekerasan yang terjadi di Pakuli seringkali ditafsirkan oleh masyarakat umum dan pemerintah lembah Sigi sebagai pertikaian antar kelompok masyarakat yang sifatnya biasa saja. Ternyata, Persepsi ini keliru, karena kerusuhan dan perasaan tidak aman juga telah menyebar kewilayah – wilayah lain diluar lembah Sigi. Bahkan hampir seluruh wilayah Propinsi Sulawesi Tengah, yang sering kali berwujud konflik antara komunitas. Misalnya, kasus – kasus peledakan dan teror bom di kota, penembakan misterius, kerusuhan Poso, yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit.
Beberapa faktor pemahaman pemerintah sebagai mengambil kebijakan hanya memahami konflik di Pakuli terfokus pada konflik biasa, kekerasan antara kelompok masyarakat dalam satu kampung dengan kampung lainnya, tidak pernah melihat dimensi lain dari penyebab konflik di desa itu, sehingga konflik di daerah ini masih terus terulang dengan modus yang sama dan terjadi ditempat yang berbeda.
Maka, dengan sering terjadinya masalah tersebut, pemerintah dalam hal ini kepala desa Pakuli berinisiatif membuat satu motto yang dijadikan sebagai pandangan dan pegangan hidup masyarakat setempat yang berbunyi “Belo Hajagai Geho Hapakabelo” yang mempunyai arti, “baik harus dijaga dan yang rusak harus diperbaiki” dengan harapan konflik yang terjadi di desa Pakuli dapat terselesaikan. Sehingga, kalau peneliti mengamati sangatlah tepat dalam permasalahan ini menggunakan prinsip-prinsip interaksionisme simbolik sebagai media resolusi konflik di desa ini.
Sebagaimana yang di utarakan oleh sala satu pakar interaksionisme simbolik Herbert Blumer tentang tiga prinsip utama dalam mengatasi permasalahan dalam masyarakat dengan cara melakukan interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat untuk bisa memahami apa yang terjadi dilingkungannya.

Blumer dari situs (http://yearrypanji.wordpress.com) mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai Kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan Kabayan dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di sana memperlakukan Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak.
Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each other. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan.
Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own thought process. Interaksionisme simbolik- menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.
Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai ‘alat pertukaran pesan’ semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik. Komunikasi secara simbolik.
            Maka dari permasalahan dan prinsip diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengkombinasikan antara makna pesan beserta konflik dengan judul, sebagai berikut : Kontruksi Makna “Belo Hajagai Geho Hapaka Belo” Sebagai Media Resolusi Konflik Desa Pakuli.
1.2 Rumusan Masalah
Dari pemaparan tersebut di atas, peneliti mencoba mengidentifikasi masalah yang akan di analisis lebih lanjut, sebagai berikut :
1.      Bagaimana kontruksi makna “belo hajagai geho hapaka belo” sebagai media resolusi konflik Desa Pakuli.
2.      Bagaimana peran “belo hajagai geho hapaka belo” sebagai media resolusi konflik Desa Pakuli.


1.3 Tujuan dan kegunaan penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian :
      1. Untuk mengetahui Kontruksi makna “belo hajagai geho hapaka belo” sebagai media resolusi konflik Desa Pakuli.
 2. Untuk mengetahui peran “belo hajagai geho hapaka belo” sebagai media resolusi konflik Desa Pakuli.
1.3.2 kegunaan Penelitian
a.       Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi penelitian komunikasi, khususnya kepada para peneliti yang mengkaji tentang resolusi konflik yang ada di wilayah Kabupaten Sigi dan yang lebih terpenting pada ruang lingkup penelitian deskripsi.
b.      Kegunaan praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam menyelesaikan konflik dan dapat dijadikan bahan masukan kepada masyarakat desa Pakuli khususnya kepada pemerintah Kabupaten Sigi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Komunikasi dan Tingkat/ Level Komunikasi
            Komunikasi adalah prasarat kehidupan manusia. Kehidupan manusia akan tampak hampa atau tiada kehidupan sama sekali apabila tidak ada komunikasi. Karena tanpa komunikasi, interaksi antarmanusia, baik secara perorangan, kelompok ataupun organisasi tidak mungkin dapat terjadi. Dua orang dikatakan melakukan interaksi apabila masing – masing melakukan aksi dan reaksi. Aksi dan reaksi yang dilakukan manusia ini (baik secara peroranga, kelompok ataupun oraganisasi), dalam ilmu komunikasi disebut sebagai tindakan komunikasi.
            Pada dasarnya manusia telah melakukan komunikasi sejak lahir kedunia. Tindakan komunikasi ini terus-menerus terjadi selama proses kehidupannya. Dengan demikian, komunikasi dapat diibaratkan sebagai urat nadi kehidupan manusia. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana bentuk dan corak kehidupan manusia di dunia ini seandainya saja atau hampir tidak ada tindakan komunikasi antara satu orang/ sekelompok orang dengan kelompok orang lainnya.
Sesuai definisi komunikasi seperti halnya yang dikemukakan oleh Hovland, jenis & Kelley: 1953: dalam Sendjaja (2002: 10) bahwa: komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk prilaku orang-orang lainnya (khalayak). Komunikasi juga merupakan salah satu fungsi dari kehidupan manusia tanpa komunikasi dalam hidup bagaikan hampa tidak ada kehidupan sama sekali. Untuk memahami lebih jelas tentang komunikasi ada beberapa definisi operasional di kemukakan oleh para ahli dapat dijadikan pegangan dalam penulisan ini antara lain sebagai berikut: seperti dikemukakan Effendy, (1989: 6), dalam buku komunikasi mengatakan bahwa :
            “komunikasi adalah merupakan suatu proses pesan dalam bentuk lambang bermakna sebagai paduan pikiran dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan, himbauan, dan sebagainya yang melakukan seseorang kepada orang lain baik langsung secara tatap muka maupun secara tidak langsung yakni melalui madia dengan tujuan mengubah sikap, pendangan atau prilaku”.
Menurut definisi di atas yang dikemukakan Effendy bahwa komunikasi adalah merupakan proses komunikasi dari komunikator ke komunikan dengan berbagai macam pesan komunikasi artinya komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal baik komunikasi melalui media maupun komunikasi langsung (face to face). Demikian hal tingkat dan level komunikasi dapat berlangsung 6 tahap. Menurut Denis McQuail (1987) dalam buku pengantar komunikasi oleh Sendjaja (2002: 12) sebagai berikut:
1. Komunikasi intra-pribadi (intra-personal communication)
            Proses komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang, berupa proses pengelolaan informasi melalui panca indera dan system syaraf. Misalnya: berpikir, merenung, mengingat-ingat, menulis sebuah surat, dan menggambar, selama proses kehidupannya.
2. Komunikasi antarpribadi
            Kegiatan komunikasi yang dilakukan secara langsung antara seseorang dengan orang lain. Misalnya: percakapan secara tatap muka di antara dua orang, surat menyurat pribadi, dan percakapan melalui telepon. Corak komunikasinya juga lebih bersifat pribadi, dalam arti pesan pelaku komunikasi yang terlibat.
3. Komunikasi dalam kelompok
            Kegiatan komunikasi yang berlangsung di antara anggota suatu kelompok. Pada tingkatan ini, tiap individu yang terlibat masing-masing berkomunikasi sesuai dengan peran dan kedudukanya dalam kelompok, pesan atau informasi yang dikomunikasikan juga menyangkut kepentingan seluruh anggota, bukan bersifat pribadi.
4. Komunikasi antar kelompok asosiasi
            Kegiatan komunikasi yang berlangsung antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya, atau antara suatu asosiasi dengan asosiasi lainnya. Jumlah pelaku yang terlibat dalam komunikasi jenis ini boleh jadi hanya dua orang atau beberapa orang saja. Tetapi masing-masing membawakan peran dan kedudukannya sebagai wakil dari kelompok asosiasinya masing-masing. Dengan demikian pesan yang disampaikan menyangkut kepentingan kelompok/ asosiasi.
5. Komunikasi organisasi
            Komunikasi organisasi mencangkup kegiatan komunikasi dalam suatu organisasi dan komunikasi antarorganisasi. Bedanya dengan komunikasi kelompok, bahwa sifat komunikasi organisasi lebih formal dan lebih mengutamakan prinsip-prinsip efesiensi dalam melakukan kegiatan komunikasinya.


6. Komunikasi dengan masyarakat secara luas
            Pada tingkatan ini kegiatan komunikasi ditujukan kepada masyarakat secara luas. Bentuk kegiatan komunikasinya dapat dilakukan melalui dua cara: pertama, komunikasi massa, yakni komunikasi melalui media massa seperti radio, majalah, surat kabar, dan TV, kedua, langsung tanpa melalui media massa misalnya ceramah atau pidato dilapangan terbuka. Sifat isi pesan komunikasi yang disampaikan menyangkut kepentingan orang banyak, tidak bersifat pribadi. 
2.2 Bahasa
            Bahasa, menurut Gadamer dalam buku semiotika komunikasi oleh Alex (2003: 272), bukan suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di dunia ini. Di dalam dan pada bahasa letaknya kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia. Keberadaan dunia diletakkan secara bahasa. Di dalam bahasa, aspek-aspek dunia terungkap. Bahkan, kata surianto lagi, dalam tidurpun ada orang yang bicara, kalau bukan bermimpi berbincang dengan orang lain. Bahasa kemudian benar-benar menjadi alat penggerak. Memang menakjubkan bagaimana bahasa itu bisa menjadi semacam alat penggerak dari jauh, dalam suatu mekanisme remote control, bagi individu yang ratusan ribu jumlahnya.
            Menurut Ensiklopedia indonesia bandung dalam buku yang sama (2003: 274), kata ‘bahasa’ berarti “alat untuk melukiskan sesuatu pikiran, perasaan atau pengalaman, alat ini terdiri dari kata-kata. Dalam perhubungan antara manusia dan manusia dipakai orang bahasa (kata-kata) itu sebagai simbol (lambang) yang objektif untuk memaparkan sesuatu pikiran atau perasaan yang subjektif”.
            Dilihat dari sudut ilmu-ilmu sosial, bahasa adalah dasar komunikasi antarmanusia. Tanpa bahasa, perhubungan antarmanusia seperti ini tidaklah mungkin. Dalam pandangan teori lingustik yang dipengaruhi Chomski, bahasa adalah sejumlah kalimat yang tak terbatas dan setiap kalimat bersifat tunggal ialah setiap kalimat hanya satu kali terbentuk dalam suatu bentuk yang tertentu. Kalimat itu terdiri atas sejumlah tanda bahasa (kata-kata) yang terbatas dan yang disebut kode.
Hanya dengan penyusunan menurut aturan tertentu, tanda-tanda bahasa ini menjadi ungkapan. Penyusunan ini tidak terjadi menurut sebuah pola yang tunggal, tetapi dipengaruhi juga oleh hal-hal lain. Pengaruh lain misalnya keadaan diri sendiri si pembicara dan keadaan di mana kalimat-kalimat tertentu itu di ungkapkan.
Secara objektif dalam (http://cencen.guru-indonesia.net), hakikat keberadaan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hakikat makna bahasa dan keberadaan bahasa senantiasa memproyeksikan kehidupan manusia yang sifatnya tidak terbatas dan kompleks. 
Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan secara khas dan memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Untuk itu, terdapat banyak permainan bahasa dalam kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan tidak terbatas, dan antara tata permainan satu dengan lainnya tidak dapat ditentukan dengan suatu aturan yang bersifat umum. Namun demikian, walaupun terdapat perbedaan adakalanya terdapat sutau kemiripan, dan hal ini sulit ditentukan secara definitif dan pasti. Meskipun orang tidak mengetahui secara persis sebuah permainan bahasa tertentu, namun ia mengetahui apa yang harus diperbuat dalam suatu permainan. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hakikat bahasa dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu deskripsi serta memberikan contoh-contoh dalam kehidupan manusia yang digunakan secera berbeda.
 Sebagian orang berpendapat bahwa bahasa sebagai sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain; sebuah permainan dari simbol verbal yang didasarkan dengan rasa indera kita (pencitraan). Sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang dunia dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi tentang realitas.
Pandangan di atas, merajut pada pemikiran bahwa dengan melukiskan bahasa sebagai penjelmaan pikiran dan perasaan, yaitu budi manusia, maka bahasa itu mendapat arti jauh lebih tinggi daripada sistem bunyi atau fonem. Oleh karena itu budilah yang melahirkan kebudayaan, maka bahasa sebagai penjelmaan daripada budi itu adalah cerminan selengkap-lengkapnya dan sesempurna dari kebudayaan.
Perhatian terhadap kelompok-kelompok minoritas ini sekarang telah menjadi betapa penting dengan adanya kontak antarbudaya, namun diasumsikan bahwa komunikasi antabudaya itu sangat sulit. Hal ini disebabkan karena jika bahasa sebagai sistem bunyi gagal mengendap dalam kantong-kantong budaya, maka masyarakat pun gagal untuk memahami dan dipahami dalam konteks komunikasi antarbudaya. Dari pernyataan diatas dapat dirtarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan salah satu alat untuk mengadakan interaksi terhadap manusia yang lain. Jadi bahasa tersebut tidak dapat dipisahkan dengan manusia.
Dengan adanya bahasa kita dapat berhubungan dengan masyarakat lain yang akhirnya melahirkan komunikasi dalam masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara tradisional dapat dikatakan sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi. Akan tetapi, fungsi bahasa tidak hanya semata-mata sebagai alat komunikasi. Bagi Sosiolinguistik konsep bahasa adalah alat yang fungsinya menyampaikan pikiran saja dianggap terlalu sempit. Cangara (2004:15) berpendapat bahwa fungsi yang menjadi persoalan Sosiolingustik adalah dari segi penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.
Maksud dari pernyataan tersebut pada intinya bahwa fungsi bahasa akan berbeda apabila ditinjau dari sudut pandang yang berbeda sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Adapun penjelasan tentang fungsi-fungsi bahasa tersebut adalah sebagaiberikut:
1.      Segi penutur
Dilihat dari segi penutur maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya, bukan hanya menyatakan sikap lewat bahasa tetapi juga memperlihatkan sikap itu sewaktu menyampaikan tuturannya, baik sedang marah, sedih, ataupun gembira.


2.      Segi pendengar
Dilihat dari segi pendengar maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Dalam hal ini, bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan hal sesuai dengan keinginan sipembicara.
3.      Segi topik
Dilihat dari segi topik maka bahasa itu berfungsi referensial. Dalam hal ini bahasa itu berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya.
4.      Segi kode
Dilihat dari segi kode maka bahasa itu berfungsi metalingual atau metalinguistik, yaitu bahasa digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri, seperti pada saat mengajarkan tentang kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa yang dijelaskan dengan menggunakan bahasa.
5.      Segi amanat
Dilihat dari segi amanat yang disampaikan maka bahasa itu berfungsi imaginatif, yakni bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan (baik sebenarnya maupun khayalan/rekaan). Masyarakat Bahasa dalam sosiolinguistik oleh Dell Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki oleh penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya.
2.3 Interaksionisme Simbolik
            Istilah interaksionisme menjadi sebuah label untuk pendekatan yang relative khusus pada ilmu yang membahas tingkah laku manusia. Interaksionisme simbolis merujuk pada karakter interaksi khusus yang berlangsung antarmanusia. Aktor tidak semata-mata beraksi terhadap tindakan yang lain, tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor secara langsung maupun tidak, selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut. Oleh karena itu, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Menurut Herbert Blumer dalam buku interaksionisme simbolik oleh Riyadi (2002: 120) bahwa interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis utama:
1.      Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
2.      Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
3.      Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi social sedang berlangsung.
Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan makna dalam kaitanya dengan situasi di mana dan ke mana arah tindakannya. Sebagai penerapan makna-makna yang dipakai dan disempurnakan sebagai instrument bagi pengarahan dan pembentukan tindakan. Blumer (1986) dalam buku Riyadi soeprapto (2002: 122) mengatakan bahwa individu bukan dikelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan membentuk perilakunya. Gambaran yang benar ialah dia membentuk obyek-obyek itu.
Dalam pada itu, maka individu sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda, mamberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Inilah yang dimaksud dengan penafsiran atau bertindak berdasarkan simbol-simbol.
Dengan begitu, manusia merupakan aktor yang sadar dan reflektif, yang menyatukan obyek-obstek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blumer sebagai self-indication. Self indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberikan makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makana itu. Proses self-indication ini terjadi dalam konteks social di mana individu mencoba “mengantisipasi” tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu.
Bagi Blumer (1986) dalam buku interaksionisme simbolik oleh Soeprapto (2002: 122-123) yang terjadi pada suatu interaksi dalam masyarakat adalah bahwa proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan bahkan menghancurkan aturan-aturan, dan bukan sebaliknya bahwa aturan-aturanlah yang menciptakan dan menghancurkan kehidupan kelompok. Apa yang disebut sebagai struktur sosial oleh kaum struktural fungsional sesungguhnya adalah hasil interaksi masyarakat. Sedangkan dalam teori interaksionisme simbolis, kata Blumer, mempelajari suatu masyarakat tak lain adalah mempelajari apa yang disebut sebagai “tindakan bersama” sementara, masyarakat itu sendiri merupakan produk dari interaksi simbolis. Dalam kontek ini, interaksi manusia dalam masyarakat ditandai oleh penggunaan simbol-simbol, penafsiran dan kepastian makna dari tindakan orang lain.
Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer dalam buku semiotika komunikasi oleh Sobur (2003: 196) memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik. Masing-masing hal tersebut mengidentifikasikan sebuah konsep sentral mengenai tradisi yang dimasud :
1.    Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman.Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.
2.    Berbagai makna dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Makna muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.
3.    Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.
4.    Tingkah laku seseorang tidak mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, namun juga dilakukan secara sengaja.
5.    Pikiran terdiri atas sebuah percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.
6.    Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.
7.    Kita tidak bisa memahami pengalaman seseorang individu dengan mengamati tingkah lakunya saja.
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktifitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (mulyana, 2001: 68).  Menurut blumer dalam buku komunikasi semiotika oleh Sobur (2003: 197), manusia bukan semata-mata organisme saja yang bergerak di bawah pengaruh perangsang-perangsang entah dari luar, entah dari dalam, melainkan “organisme yang sadar akan dirinya” (an organism having a self). dikarenakan ia seorang diri, ia mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan diri sendiri.
2.3.1 Sifat – sifat
Interaksionisme simbolik berada pada analisis paling akhir dari tiga dasar pemikiran yang menyertainya.
1.      Manusia bertindak terhadap benda berdasarkan “arti” yang dimilikinya.
2.      Asal muasal arti atas benda-benda tersebut yang muncul dari interaksi social yang memiliki seseorang.
3.      Makna yang demikian ini diperlukan dan dimodifikasikan melalui proses interpretasi yang digunakan oleh manusia dalam berurusan dengan benda-benda lain yang ditemuinya.
Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk social, sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari indifidu saat mereka berinteraksi. Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi-implikasi yang cukup dalam.
Sedangkan pada tahapan pemikiran yang ketiga, teori interaksionisme simbolis memberikan pemahaman akan “arti” tersebut lebih jauh lagi. Penggunaan “arti” oleh pelaku terjadi melalui sebuah proses interpretasi. Proses ini sendiri terbentuk melalui dua tahapan utama.
1.    Pelaku mengindikasikan dirinya sendiri akan benda-benda terhadap mana dia beraksi. Dia harus menunjukan sendiri benda-benda yang memiliki makna itu.
2.    Melalui perbaikan proses komunikasi dengan diri sendiri ini, maka interpretasi akan menjadi sebuah masalah, yakni bagaimana kita memperlakukan “arti” itu sendiri. Maka dengan demikian bias disaksikan dengan jelas bahwa “arti” memainkan peran penting dalam aksi, melalui sebuah proses interaksi dengan diri sendiri.
Teori interaksionisme simbolis dikonstruksikan atas sejumlah ide-ide dasar. Ide dasar ini mengacu pada masalah-masalah kelompok manusia atau masyarakat, interaksi social, obyak, manusia sebagai pelaku, tindakan manusia dan interkoneksi dari saluran-saluran tindakan. Secara bersama-sama, ide-ide mendasar ini merepresentasikan cara di mana teori interaksionisme simbolis ini memandang masyarakat. Mereka memberikan kerangaka kerja pada ilmu sekaligus menganalisisnya. Secara singkat kita akan mempelajari kerangka-kerangka itu:
1.      Sifat masyarakat.
Secara mendasar, masyarakat atau kelompok-kelompok manusia berada dalam tindakan dan harus dilihat dari segi tindakan pula. Prinsip utama dari teori interaksionisme simbolis adalah apapun yang berorientasi secara empiris atas masyarakat manusia, dan dari manapun asalnya, haruslah memperhatikan kenyataan bahwa masyarakat manusia tersebut terdiri dari orang-orang yang sedang bersama-sama dalam sebuah aksi sosial manusia.
2.      Sifat interaksi sosial.
Masyarakat merupakan bentukan dari interaksi antarindividu. Interaksi sosial dalam pengertian berikut ini biasanya diabaikan, baik secara sosiologis maupun psokologis. Interaksi sosial adalah sebuah interaksi antarpelaku, dan bukan antar faktor-faktor yang menghubungkan mereka, atau yang membuat mereka berinteraksi. Mead berpendapat dalam buku interaksionisme simbolik oleh Riyadi (2002: 143), memandang interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dalam dua bentuk utama, yakni “percakapan isyarat” (interaksi non-simbolis) dan “penggunaan simbol-simbol penting” (interaksi simbolis).
3.      Ciri-ciri obyek.
Posisi teori interaksionisme simbolis adalah bahwa dunia-dunia yang ada untuk manusia dan kelompok-kelompok mereka adalah terdiri dari obyek-obyek sebagai hasil dari interaksi simbolis. Sebuah obyek adalah segala sesuatu yang dapat diindikasikan atau ditunjukkan. Obyek yang sama mempunyai arti yang berbeda-beda untuk individu yang berbeda pula. Dari proses indikasi tibal balik, obyek-obyek umum bermunculan. Obyek-obyek yang memiliki arti yang sama bagi kelompok manusia, akan dipandang dengan cara yang sama pula oleh mereka.
4.      Manusia sebagai makhluk bertindak.
Teori interaksionisme simbolis memandang manusia sebagai makhluk sosial dalam suatu pengertian yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengann dirinya sendiri, dengan membuat indikasinya sendiri, dan memberikan respon pada sejumlah indikasi. Dalam pengertian ini, manusia sebagai suatu makhluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, bukanlah makhluk yang hanya merespon saja, akan tetapi makhluk yang bertindak atau beraksi. Sebuah makhluk yang harus mencetak sederetan aksi berdasarkan pada perhitungan, tidak hanya berfungsi melepaskan respon pada interaksi sosial yang ada.
5.      Sifat aksi manusia.
Manusia individual adalah manusia yang mengartikan dirinya dalam dunia ini agar bertindak. Tindakan atau aksi bagi manusia terdiri dari perhitungan berdasarkan berbagai hal yang ia perhatikan dan penampakan sejumlah tindakan berdasarkan pada bagaimana dia menginterpretasikannya. Dalam berbagai hal tersebut, seseorang harus masuk kedalam proses pengenalan diri pelakunya agar mengerti tindakan atau aksinya. Pandangan ini berlaku juga untuk aksi bersama atau kolektif di mana sejulah individu ikut diperhitungkan. Aksi bersama adalah hasil dari sebuah proses interaksi yang interpretatif.
2.3.2 Makna
Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep makna. Model proses makna Wendell Johnsosn (1951, dalam Semiotika Komunikasi oleh Sobur: 258) menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia:
1)      Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan tetapi kata-kata ini tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang dimaksudkan. Demikian pula, makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, dibenak pendengar, apa yang ada didalam benak kita.reproduksi ini hanyalah seuah proses parsial dan selalu bisa salah.
2)      Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata-kata ini terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna. Bandingkanlah misalnya makna kata-kata berikut bertahun-tahun yang lalu dan sekarang, hubungan diluar nikah, obat, agama, hiburan dan perkawinan (Di Amerika Serikat kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan dimasa yang lalu).
3)      Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai.
4)      Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna.  Berkaitan erat dengan  gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan banyak objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “berlaku manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak”. Bila anda membuat hubungan seperti ini, anda akan bisa membagi apa yang anda maksudkan dan tidak membiarkan keseluruhan tindak komunikasi berubah.
5)      Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan sebuah masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya anda bertanya bukanya membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak diketahui.
6)      Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multi aspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tingggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya pertukaran makna yang sempurna barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai.
2.3.3 Proses Pertukaran Makna
            Dalam studi komunikasi terdapat dua mazhab utama yang sering dijadikan landasan berpikir para ilmuwan komunikasi dalam meneliti berbagai fenomena komunikasi. John Fiske oleh Mulyana (1999, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar: 69-71), membagi studi Komunikasi dalam dua Mahzab Utama. Mahzab pertama melihat komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Fiske tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi.
Fiske melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind  pribadi yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil daripada yang diharapkan, mahzab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dengan melihat tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui dimana kegagalan tersebut terjadi. Selanjutnya kita akan menyebut mahzab ini sebagai “Mahzab Proses”.
Sedangkan mahzab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam kebudayaan kita. Fiske menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalah pahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi––hal itu mungkin  akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Bagi mahzab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Mahzab ini mendefinisikan interaksi sosial sebagai yang membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.
Bagi mahzab yang melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, kemudian menghasilkan makna. Pengirim, yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurun arti pentingnya. Penekanan begeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks. Ia juga melibatkan pemahaman yang agak sama tentang apa sebenarnya teks tersebut. Maka pembaca dengan pengalaman sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama. Ini bukanlah, seperti yang telah kami katakan, bukti yang penting dari kegagalan komunikasi.
Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini. Kita bisa menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis.
Menurut mazhab komunikasi produksi dan pertukaran makna di atas, penerima atau pembaca teks dipandang memainkan peran yang lebih aktif dibandingkan dalam kebanyakan model mazhab komunikasi proses yang lebih menonjolkan pada pihak pengirim pesan teks.


2.4 Konflik dan Jenis Konflik
Secara etimologis, konflik dari asal kata “confligere, conflictum” artinya : pertentangan, pertikaian, bertolak belakang, dan benturan. Jadi konflik dapat diartikan sebagai suatu perselisihan atau perbedaan paham antara seseorang pada orang lain atau seorang pada kelompok. Dalam pengertian yang sangat luas, konflik dapat juga dikatakan sebagai segala macam bentuk hubungan antara manusia yang bersifat berlawanan (antagonistik), (Masmuh, 2010:293).
Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia, sepanjang seseorang masih hidup hampir mustahil untuk menghilangkan konflik di muka bumi. Berbagai macam keinginan seseorang dan tidak terpenuhi keinginan tersebut juga berakhir dengan konflik. Perbedaan antar perorangan juga dapat mengakibatkan konflik. Selanjutnya jika konflik antar perorangan tidak dapat diadili secara adil dan proporsional maka hal itu dapat barakhir dengan konflik antar kelompok dalam masyarakat. Sebuah konflik berawal dari persoalan kecil dan sederhana perbedaan pendapat dan sikap termaksud ketidak inginan untuk menerima orang lain dapat menyebabkan konflik antara seseorang dengan yang lainnya.
Konflik merupakan sesuatau yang esensial dari kehidupan sebagai sesuatu yang tidak dapat dihilangkan di dalam komponan kehidupan sosial. Kompleksnya berbagai permasalahan yang terjadi pada masyarakat seperti kecemburuan sosial, kecemburuan ekonomi, tingginya suhu politik yang mengakibatkan banyaknya kepentingan yang tidak terakomodir, dimana kepentingan itu bertujuan lebih hanya mencari dominasi sebuah kekuasaan. Wahyudi Kusnadi (2001: 11)
Robbin menyatakan bahwa konflik adalah suatu proses dimana usaha yang dilakukan oleh A untuk mengimbangi usah-usah B dengan cara merintangi yang menyebabkan B frustasi dalam mencapai tujuan atau meningkatkan keinginannya. Sedangkan menurut Miftah Thoha, konflik adalah sebagai suatu pertikaian, pertentangan antara beberapa orang atau kelompok orang-orang, tidak adanya kerja sama, peerjuangan satu pihak untuk melawan pihak lainnya, atau suatu proses yang berlawanan (opposition process), (Masmuh, 2010:294).
Dari definisi di atas, kita dapat melihat bahwa dalam suatu konflik terdapat beberapa unsur, yaitu :
1.    Ada dua pihak atau lebih yang terlibat. Jadi, ada interaksi antara mereka yang terlibat.
2.    Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik. Tujuan itulah yang menjadi sumber konflik.
3.    Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan diantara pihak yang terlibat untuk mendapatkan atau mencapai tujuan atau sasaran.
4.    Ada situasi konflik antara dua pihak yang bertentanga.  Ini meliputi situasi anatar pribadi, antar kelompok dan bahkan antar organisasi. (Alo Liliweri, 2005) dalam (Masmuh, 2010:294).
Konflik memiliki jenis, Jenis konflik ada dua yaitu :
1.    Konflik vertikal adalah konflik antar elite dan massa (rakyat). Elite disini bisa para pengambil kebijakan di tingkat pusat. Hal yang menonjol dalam konflik ini ialah digunakannya instrumen kekerasan Negara, sehingga timbul korban dikalangan massa(rakyat).
2.    Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi dikalangan massa (rakyat) sendiri. Dalam kurun lima tahun terakhir. (Susan,2009:99)
2.4.1 Bentuk Akomodasi Konflik
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi :
1.         Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.
2.         Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3.         Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan Keputusan Yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
4.         Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur.
contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
5.         Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.(Andreas, 2008 : 53).
2.5 Kerangka Pikir
Konflik Desa Pakuli
            Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti yaitu kontruksi makna sebagai media resolusi konflik desa pakuli. Maka, adapun kerangka pikir peneliti dapat dilihat pada bagan berikut :
           
Makna
Belo Hajagai Geho Hapakabelo

Interaksionisme Simbolik

1.      Sifat Masyarakat
2.      Sifat Interaksi Sosial
3.      Manusia Sebagai Makhluk Bertindak
4.      Sifat Aksi Manusia

 



           

Proses Pertukaran Makna
 

Penyelesaian Konflik
 


(Gambar 2.1)
Bagan Kerangka Pikir

Keterangan Kerangka Pikir :
  Konflik merupakan sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama. Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak, sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing masing.
Maka dari itu, “Belo Hajagai Geho Hapakabelo” sebagai media interaksi simbolik dalam masyarakat, sangatlah berperan penting didalam proses pertukaran makna tersebut. Sehingga dari proses pertukaran makna ini, Respon aktor secara langsung maupun tidak, selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut. Oleh karena itu, respon terhadap penilaian makna, “Belo Hajagai Geho Hapakabelo”.  sangatlah membantu untuk penyelesaian konflik di desa Pakuli.


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tipe dan Dasar Penelitian
3.1.1 Tipe Penelitian
Tipe dalam penelitian ini menggunakan deskriptif  kualitatif. Hal ini bertujuan untuk agar peneliti dapat memberikan gambaran secara sistematis, aktual dan akurat serta mendapatkan data yang mendalam tentang Penyelesaian Konflik di Desa pakuli.
3.1.2 Dasar Penelitian
Dasar penelitian ini menggunakan analisis induktif. Analitis Induktif  adalah satu dasar pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori (bukan frekuensi). Simbol-simbol yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi dalam suatu hasil wawancara dan atau observasi .
32. Lokasi Penelitian      
Penelitian ini dilakukan di Desa Pakuli Dusun I Kec. Gumbasa, dipilihnya atas dasar pertimbangan : intensitas konflik yang sangat tinggi dan minimnya kesadaran masyarakat terhadap motto “Belo Hajagai Geho Hapakabelo” yang telah menjadi pandangan dan pegangan hidup di desa ini.




3.3. Informan Penelitian
Peneliti menyebut informan penelitian untuk menggantikan istilah subjek penelitian yaitu para anggota kelompok yang melakukan pertemuan kelompok dalam upaya penyelesaian konflik. Cara menentukan informan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Purposive sampling berfokus pada pemilihan individu yang memiliki informasi tertentu yang dapat menjawab fokus penelitian. Oleh karena itu, dalam purposive sampling, peneliti telah menentukan terlebih dahulu karakteristik informan yang terlibat langsung dalam pertemuan kelompok, yaitu meliputi para tokoh masyarakat terdiri dari :
1.      Ketua Adat desa Pakuli
2.      Kepala Desa Pakuli
3.      Ketua Pemuda
Ketua adat disini berperan sebagai orang tua kampung yang memberikan nasehat kepada pemuda yang terlibat bertikai. Selanjutnya Kepala desa yang mendamaikan kedua kelompok tersebut, lalu pemuda yang terlibat dalam pertikaian ini diberikan perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Kemudian, untuk jumlah informan penelitian bergantung pada apa yang ingin diketahui nantinya. Seperti, tujuan dari pengambilan data, hal-hal apa saja yang dapat bermanfaat untuk tujuan penelitian, serta apa yang memungkinkan dilakukan dengan sumber daya waktu dan sumber daya lain yang ada. Hal ini bisa diperoleh setelah penelitian ini dianggap cukup untuk memenuhi tujuan penelitian ini.
3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian dalah :
1.    Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber data pertama atau tangan pertama dilapangan (Kriyantono, 2006:43). Dalam penelitian ini, data primer diperoleh secara langsung dari hasil wawancara mendalam dengan para informan.
2.    Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder (Kriyantono, 2006:44). dalam hal ini, data yang diperoleh yaitu dari buku-buku, makalah, internet dan dokumen-dokumen yang sudah ada yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data, baik yang bersifat primer maupun sekunder maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1.    Observasi
Observasi adalah suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan (Sutrisno Hadi,1986) dalam (Sugiyono,2009:145). Dalam hal ini peneliti akan mengamati bagaimana penyelesaian konflik dengan menggunakan konteks pesan.

2.    Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam (in-depth interview) dengan para informan kunci menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang berkaitan dengan penyelesaian konflik. Pedoman wawancara disusun berdasarkan variabel yang diteliti dan disesuaikan dengan tujuan penelitian berupa poin-poin pertanyaan yang dikembangkan dalam proses wawancara dilapangan.
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Dalam pengertian bahwa upaya analisis berdasarkan kata-kata yang disusun dalam bentuk teks yang diperluas, (Miles & Huberman 1992 dalam Nurhaidar 2009:59).
Data yang terkumpul dari hasil pengamatan dan wawancara lapangan selanjutnya dianalisis dan disajikan bukan dalam bentuk angka-angka tapi berupa kata-kata atau narasi. Data yang telah dikumpulkan kemudian direduksi (data reductian). Menurut Bungin (2004:25) reduksi dalam penelitian kualitatif dapat disejajarkan maknanya dengan istilah pengolahan data, mencakup kegiatan mengupayakan pengumpulan data selengkap mungkin, dan memilah-milah ke dalam suatu konsep, kategori atau tema tertentu. Tahap selanjutnya melakukan interpretasi data sesuai kondisi atau hubungan yang ada atau kecenderungan yang sedang berkembang, sehingga dapat memaparkan untuk selanjutnya diorganisasikan kedalam kesimpulan hasil temuan di lapangan.
 DAFTAR PUSTAKA

A.           BUKU TEKS
Cangara, Hafied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Kusnadi, Bambang Wahyudi. 2001. Teori dan Manajemen Konflik. Malang: Caroda.

Masmuh, Abdullah. 2010. Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Malang: UMM Press.

Mulyana, Deddy. 1999. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar.  Bandung:  PT. Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, Jalaludin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

                                .  2008. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sasa, Djuarsa. 2002. Pengantar Komunikasi.  Jakarta: Universitas Terbuka

Setiadi, Elly M. 2006. Ilmu sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Prenada Media Group.

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik. Malang: Averroes Press.

Susan, Novri. 2009. Pengantar Sosiologi Konflik. Jakarta: Prenada Media Group.

Wijoyo, Sutarto. 1993. Konflik Dalam Organisasi Dengan Pendekatan Psikologi. Semarang: Satya Wacana.






B.            BUKU METODOLOGI
Bungin, Burhan. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Furchan, Arief. 1992. Pengantar Metode penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-ilmu Sosial. Surabaya: Usaha Nasional.

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktek Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.

Sugiyono, 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

C.           WEBSITE









 





0 komentar:

Posting Komentar